DEV Community

Muhammad Faqih Muntashir
Muhammad Faqih Muntashir

Posted on

Hal Yang Saya Pelajari Selama Menjadi Project Manager di Perusahaan IT

Sebelum menjadi seorang Manager, saya sama sekali tidak memiliki pengalaman manajerial secara profesional, dan hanya pernah berperan sebagai IC (Individual Contributor) Software Developer melalui freelance dan magang.

Jujur saja, selama jadi IC dulu, tidak jarang saya ditimpa rasa ragu dan ketidakpuasan terhadap kemampuan Manager saya. Entah itu dari segi kemampuan teknis, maupun dari segi kemampuan manajemen.
"Harusnya begini, harusnya begitu", pikir saya.

Saya yakin, saya tidak sendiri dalam hal ini karena saya juga sering melihat meme di laman media sosial tentang IC yang kesal dengan kelakukan Manager yang tidak tahu apa-apa soal pekerjaan teknis.

Namun setelah merasakan berada di posisi mereka, saya pun menyadari bahwa keputusan buruk yang mereka buat, micromanagement yang mereka lakukan, atau perlawanan terhadap batasan teknis itu tidak selalu berasal dari diri mereka sendiri, melainkan sistem manajemen perusahaan yang "rusak".

Sistem Manajemen Perusahaan yang "Rusak"

Saya sebut "rusak" dengan kutip karena dari pengamatan saya, mayoritas perusahaan berjalan seperti ini. Jadi saya tidak tahu apakah ini memang benar rusak, atau cuma masalah perbedaan mindset saja.

Ketika kendaraanmu rusak, dan kamu tidak dapat memperbaikinya sendiri, tentu kamu perlu membawanya ke bengkel.

Ketika kamu terkena penyakit yang kamu tidak tahu bagaimana cara mengatasinya, tentu kamu perlu pergi ke dokter.

Hal-hal yang tidak bisa kita lakukan sendiri, kita percayakan kepada ahlinya. Tentu saja ini adalah sebuah pengetahuan umum. Namun, pengetahuan umum ini justru malah tidak diterapkan di banyak perusahaan.

Investor yang tidak memiliki pengalaman menjalankan bisnis malah membuat keputusan bisnis untuk perusahaan.

CEO yang tidak memiliki pengalaman product management malah mengubah-ubah backlog dan roadmap yang sudah dirancang oleh Product Manager.

Manager yang tidak memiliki pengalaman desain malah memaksa pandangan desainnya ke UI/UX Designer.

Secara hierarki, memang posisi mereka lebih tinggi, dan memang itu hak mereka, karena mereka juga memegang tanggung jawab yang lebih besar.

Tapi, meski pun kamu membayar, dan kamu yang akan menanggung risiko, tentu kamu tidak akan memaksa pendapatmu ke dokter yang memeriksamu kan?

Inilah yang maksud dengan kerusakan yang ada pada manajemen perusahaan.

Keputusan-keputusan yang seharusnya dipercayakan pada ahlinya, malah dibuat oleh atasan yang mungkin tidak memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Efek Domino dari Sistem yang "Rusak"

Inilah salah satu kemungkinan penyebab mengapa Manager-mu membuat keputusan yang buruk; keputusan buruk tersebut dibuat oleh Manager-nya Manager-mu.

Kurang lebih seperti ini gambarannya:

  1. Investor meminta X kepada CEO
  2. CEO yang takut kehilangan Investor pun mematuhi permintaan Investor meskipun permintaannya bisa memperburuk bisnis
  3. Manager yang takut kehilangan pekerjaan mematuhi instruksi CEO meskipun mengacaukan strategi dan rencana yang sudah dibuat
  4. Individual Contributor yang takut kehilangan pekerjaan mematuhi instruksi Manager meskipun melawan harga diri dan intuisi seorang profesional

Namun, tentu tidak menutup kemungkinan arahan yang diberikan oleh Manager-mu bukan berasal dari atas, namun Manager-mu sendiri.

Jika kamu seorang Manager yang begini, tenang saja, kamu tidak sendiri kok. Menurut saya, dorongan micromanagement itu memang sudah jadi kodratnya para Manager, karena Manager ingin ikut berperan dalam pekerjaan yang mereka kelola.

Saya juga tidak suka dengan perasaan ketika melihat para IC menghasilkan keluaran yang terlihat, sedangkan saya tidak ikut serta dalam prosesnya secara langsung.

Nah, perasaan krisis eksistensi inilah yang menurut saya adalah akar dari sistem yang "rusak" a.k.a micromanagement.

Akar Sistem yang "Rusak" a.k.a Micromanagement dan Bagaimana Mengatasinya

Seperti halnya kita memercayai dokter yang memeriksa kita, bengkel yang memperbaiki kendaraan kita, kita harus sadar diri terhadap ketidakmampuan kita sendiri dan memercayakan pekerjaan pada ahlinya.

Secara hierarki, jabatan Manager memang berada di atas pada IC, dan Manager juga bertanggung jawab atas pekerjaan bawahannya. Namun, bukan berarti seorang Manager itu lebih mengerti tentang pekerjaan yang dikerjakan oleh IC itu sendiri.

Tugas Manager adalah sebagai koordinator dan pendukung para IC untuk mencapai suatu tujuan. Mereka memastikan bahwa para IC memahami visi dan bergerak ke arah yang sesuai direncanakan.

Jika kamu seorang Manager, dan sudah melakukan yang terbaik untuk itu, maka tidak perlu resah, karena kamu sudah memenuhi tanggung jawab yang diembankan kepadamu.

Jangan merasa apa yang kamu lakukan masih kurang, terlebih lagi sampai menginvasi pekerjaan para IC.

Percayalah, para IC akan lebih terbantu dan merasa senang ketika Manager-nya memercayai pekerjaan mereka.

Akan tetapi, seperti yang saya katakan di awal, "memercayakan pekerjaan pada ahlinya".

Kepercayaan tidak boleh terlahir dengan buta. Jadi, Manager juga perlu memastikan terlebih dahulu, apakah kemampuan IC yang dikelola memang sudah cukup mumpuni untuk membuat keputusan sendiri atau belum.

Jika belum, maka micromanagement bisa jadi hal yang perlu dilakukan.

Kapan Micromanagement Dibutuhkan

Sebelum mengambil kesimpulan "IC ini masih junior maka perlu micromanagement", ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan lebih dahulu.

Tingkat urgensi pekerjaan

Ketika pekerjaan tersebut perlu diselesaikan secara cepat, dan IC terkait belum punya kepercayaandiri untuk mengambil keputusan terhadap pekerjaannya, maka micromanagement perlu dilakukan agar bisa mempercepat pengambilan keputusan.

Kemampuan dan pengetahuan Manager terhadap bidang pekerjaan

Tidak sedikit Manager yang sebelumnya bekerja sebagai IC, salah satunya karena masih banyak perusahaan yang mengatur jenjang karir IC diarahkan ke manajerial.

Biasanya, pada model perusahaan yang disebutkan di atas, Manager sudah melewati jabatan Senior, yang artinya memiliki cukup pengalaman dan pengetahuan sebagai IC.

Jika kamu adalah Manager tersebut, maka micromanagement yang dilakukan malah bisa menjadi manfaat bagi IC junior, dengan syarat:

  • Sesuai dengan bidang yang pernah ditempuh
  • Selalu menjelaskan alasan dari tiap keputusan yang dibuat. Lebih baiknya lagi jika di-backup data
  • Tetap interaktif, terbuka, mendengarkan, dan menghargai pendapat dari IC

Apabila tidak dilakukan memenuhi tiga syarat tersebut, maka kemungkinan buruk yang terjadi adalah IC akan kehilangan kepercayaan diri, namun juga akan sulit untuk menghormati dan menghargai kamu.

- - -

Menurut saya, pendapat seseorang yang tidak memiliki pengalaman maupun data itu tidak otomatis menjadi lebih bernilai atau benar hanya karena memiliki jabatan Manager.

Jika sama-sama tidak didukung pengalaman atau data, saya akan memilih solusi yang diberikan oleh IC, sehingga mereka bisa percaya diri saat bekerja tanpa khawatir akan adanya revisi tanpa alasan yang kuat.

Pun jika solusi tersebut ternyata salah, maka hanya perlu melakukan iterasi kembali, tanpa menyalahkan satu sama lain.

Top comments (0)