DEV Community

Cover image for Nulis Sambil Ngantuk: Kenapa Memilih Jadi Frontend Developer
Faris Han
Faris Han

Posted on

Nulis Sambil Ngantuk: Kenapa Memilih Jadi Frontend Developer

warning: banyak gibberish alias ngelantur. kalau males baca langsung ke paling bawah aja.


Kenalan

Saya mulai belajar web development dan kenal istilah "frontend" itu tahun 2017 (tulisan ini dibuat tahun 2021).

Tahun 2018-2019 saya bekerja di sefruit studio kecil. Di studio kecil itu biasanya tidak terlalu jelas perbedaannya, antara frontend dan backend. Para developernya harus "palugada". Apa lu mau, temen gua ada. minta dia aja. Depan iya, belakang OK. Bisa nge-frontend, bisa nge-backend.

Tapi karena tahun segitu istilah frontend-backend sudah populer, maka kami sok-sokan aja untuk deklarasi "saya frontend, dia backend, dia juga backend + servis printer". Hmm, sejujurnya lebih ke: saya cuma bisa frontend. Jadi sebut saya Frontend Developer.

PDKT

Tempat saya belajar web development itu sistemnya karantina. Makan di situ, tidur di situ, bangun masih di situ lagi. Kurang lebih selama 6 bulan, 10 jam++ per hari, saya latihan slicing (implementasi desain UI ke UI beneran pakai HTML & CSS). Waktu itu berambisi alias pengen banget untuk bisa mereplika website-nya Blizzard. Kurang paham deh kenapa waktu itu pengennya itu. Yang jelas bersyukur waktu itu punya motivasi yang kuat untuk tetap belajar.

Selingkuh

Apakah pernah mencoba backend? tentu saja. Waktu itu tech stack yang lagi nge-trend: Node.js + MongoDB. Bikin CRUD. Tidak bertahan lama, karena cuma sebentar. eh belum paham cara menikmatinya. Banyak hal ribet yang kalau dipaksakan terus belajar, takutnya malah luntur motivasi saya untuk belajar web development.

Saya bukan orang yang artsy atau anak design banget, sih. Tapi frontend lebih bisa menggambarkan imajinasi saya, ketimbang backend. Jadi saya memutuskan untuk setia di jalur frontend.

Pacaran

Kerja kerja kerja. Ada desain, sikat. Ada desain lagi, sikat lagi. Sehari-hari cuma slicing. Ada tugas integrasi juga sih, tapi males bahasnya. Kapan-kapan aja. Lagi pengen cerita yang bagian slicing.

Orang Ketiga

Ketika ada masalah, saya tidak pernah menyalahkan frontend, atau kemampuan slicing saya. Pokoknya yang salah itu antara desainer, backend, atau project manager. Kenyataannya, semua manusia, apalagi developer, pasti pernah salah. Jadi yaudah saling memaafkan aja. Tapi tetep ya, waktu itu saya paling menyalahkan sistem manajemen proyek yang tidak proper, yang berakibat tidak adil untuk saya atau developer lain. Alhasil saya berhenti bekerja dan cari pekerjaan lain yang sekiranya lebih proper manajemennya.

Dapet deh pekerjaan baru di tempat baru, dengan syarat melamar pekerjaan yang 'gue banget': bisa slicing tanpa bantuan framework seperti Bootstrap/Foundation/Material/etc. Vanilla HTML & CSS aja. Plus manajemennya OK.

Pas tulisan ini dibuat, saya masih bekerja di tempat itu.

Menuju Pernikahan

Nah ini dia. 1-2 tahun itu menurut saya sudah cukup lama untuk Frontend Developer Kekinian. Harus segera menentukan apakah mau berkomitmen atau ganti karir. Kebetulan saya memang orangnya suka 'loncat-loncat', belajar ini itu. Jack of all trades, master corbuzier of none adalah jalan ninja saya. Jadi agak sulit untuk berkomitmen selamanya di jalur frontend.

Tapi here I am, 2021, masih slicing aja. Dan semakin membara, setelah tahu buanyak banget skillset yang bisa dipelajari, termasuk backend. Iya, belajar backend itu bisa jadi pelengkap untuk menjadi seorang frontend developer yang beneran frontend developer.

Belum 'menikahi' frontend, sih. Tapi saya masih memilih frontend. Karena:

Daritadi ngomong apa sih. Ini nih alasannya:

  1. Frontend itu enak dipandang. Apa yang kita buat, terlihat hasilnya oleh mata.
  2. Secara teknis lebih gampang. Cocok untuk orang awam yang mau sok-sokan ngoding.
  3. On demand. Banyak yang butuh (setidaknya 2018-sekarang masih ada aja yang DM nawarin kerjaan di LinkedIn). Bahkan ada yang nanya gini di Quora: Mengapa semua orang berbondong-bondong ingin jadi pengembang front end? Di tahun 2020 jumlah pelamar pada setiap pekerjaan hanya menyentuh angka 10 - 100, tapi sekarang jumlahnya bisa 200 - 500.
  4. ...

Aduh, maaf pemirsa, kelamaan nulis cerita jadi males nulis alasan lainnya.

Intinya bikin nyaman, lebih jarang asam lambung daripada mikirin database, server, kecolongan data, dll.

Udah dulu ya. Dadah.

Top comments (0)